Selepas menonton Star Wars: The Last Jedi
bersama kedua orangtuanya, Azka (12) tidak langsung buru-buru masuk kamar.
Dipinjamnya gadget milik sang ayah. Bocah yang baru duduk di kelas VI SD itu
lalu sibuk mencari cara untuk membuat Lightsaber, pedang bersinar yang
merupakan senjata utama di film fiksi tersebut. Besoknya, semua barang yang
dibutuhkan untuk membuat pedang mainan itu sudah terkumpul. Plastik, lampu
senter bekas, baterai, lem, kayu bekas batang es loli, dan lain-lainnya tampak
terserak di kamar.
Tak butuh waktu lama. Tiga hari berselang,
pedang mainan itu selesai dibuatnya. Bahkan, voila! pedang itu bisa menyala!
Lalu berpura-puralah Azka seperti tokoh utama film trilogi garapan Rain Johnson
itu. Ia langsung mencoba pedang buatannya sendiri: sebilah Lightsaber versi
bocah bau kencur! Naik terus Azka cuma satu contoh nyata bahwa di era teknologi
digital saat ini, anak-anak bisa bertindak lebih cepat daripada yang dipikirkan
orang dewasa atau orangtuanya sendiri dalam hal mencari informasi.
Itu baru di kalangan bocah SD, apalagi dengan
anak-anak usia di atasnya, para remaja ABG usia SMP dan SMA. Boleh jadi, masih
ada ribuan anak lain di Indonesia atau dunia yang melakukan hal serupa.
"Persekutuan" antara gadget dan internet membuat mereka menjadi lebih
mandiri dalam mencari informasi, kalau tak mau disebut "lebih suka
'bertanya' kepada gadget ketimbang orangtuanya sendiri". Bukan cuma
terkait kebutuhan bermain dan menekuni hobi, bahkan pemanfaatan gadget dan
internet ini sudah pada urusan belajar.
“Kalau ada soal atau pertanyaan yang susah
dalam pelajaran, dan tidak ditemukan jawabannya di buku, anak-anak saya sudah
pasti lebih dulu mencarinya di internet. Dari pelajaran Biologi, Matematika, sampai
Bahasa Inggris, mereka sudah mulai terbiasa begitu sekarang,” kata Fahmi Syah
(44). “Saya sendiri juga begitu. Kalau buntu untuk cari jawaban PR anak yang
sudah SMA, maka saya anjurkan mereka cari sendiri pakai gadget. Saya paham,
kadang harus mengalah untuk ikut kebiasaan mencari informasi lewat gadget dan
internet,” tambahnya.
Toh, memang, gadget sudah bukan barang baru di
kalangan anak didik, mulai SD sampai SMA, baik untuk sekadar cari hiburan,
seperti menikmati film dan lagu, sampai mencari bermacam tutorial untuk
memenuhi tuntutan hobi dan wawasannya. Kondisi itu tak mungkin terelakkan,
tentu saja. Terhitung tahun ini, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai
143,26 juta jiwa. Jumlah pengguna menurut data hasil survei Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) itu tercatat meningkat
dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 2016, yang mencapai 132,7 juta jiwa.
Pertumbuhan pengguna internet Indonesia dari tahun ke tahun meningkat (Asosiasi
Penyelanggara Jasa Internet Indonesia (APJII)) Adapun berdasarkan usianya,
sebanyak 16,68 persen pengguna berusia 13-18 tahun, dan 49,52 persen berusia
19-34 tahun.
Sementara itu, persentase pengguna internet
berusia 35-54 tahun mencapai 29,55 persen, dan pengguna internet berusia 54
tahun ke atas sebanyak 4,24 persen. Artinya, pengguna internet di kalangan usia
muda tak kalah banyak dibanding usia dewasa. Pertumbuhan pemakai internet itu
sendiri tak lepas dari pesatnya jumlah pengguna gadget atau smartphone di Tanah
Air. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa memang menjadi pasar
yang besar buat gadget. Tak heran, lembaga riset digital marketing Emarketer
bahkan memperkirakan pada 2018 ini jumlah pengguna aktif smartphone di
Indonesia lebih dari 100 juta orang.
Apa mau dikata, penetrasi teknologi makin sulit
dibendung, tak terkecuali di sektor pendidikan untuk anak. Pendidikan yang
menginspirasi Di belahan dunia mana pun, hasrat bermain anak lebih tinggi
dibandingkan belajar. Insting anak memang bermain, dan hal tersebut tidak bisa
disalahkan. Untuk itu, ketika gadget dan internet hadir dalam keseharian
mereka, dan berlanjut pula dengan adanya keinginan serta kebutuhan memasukkan
“persekutuan” gadget-internet ke dalam ranah pendidikan atau proses
belajar-mengajar mereka, maka muncul pertanyaan, sesiap apakah orangtua, guru,
dan pihak sekolah untuk mengimbangi keinginan dan kebutuhan itu? Di rumah
misalnya.
Upaya belajar melalui gadget bisa cepat beralih
ke permainan atau game yang tersedia pada gadget itu sendiri, terutama ketika
anak sudah merasa bosan. Risikonya, ketika anak keenakan bermain, mereka akan
lupa dengan belajarnya, apalagi jika penggunaan gadget itu tidak diawasi
langsung orangtuanya. Anak dengan gadgetnya(airdone) Begitu juga pemakaian
gadget di sekolah. Pendampingan guru menjadi faktor utama dalam upaya
transformasi pembelajaran menggunakan gadget dan internet. Guru atau pihak
sekolah dan orangtua harus bertindak menjadi “wasit” agar penggunaan gadget
berlaku secara tepat dengan mempertimbangkan usia si anak.
Untuk itu, sebelum dibekali dengan gadget, anak
perlu mendapat pembekalan pengetahuan dasar bahwa gadget hanyalah media belajar
pelengkap dan pendamping pada proses belajar mereka di sekolah. Sebagai
pelengkap, gadget dapat membantu perkembangan fungsi adaptif siswa, yakni
kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan sekitar dan
perkembangan zaman. Jika pada zaman sekarang gadget begitu merajai
hari-harinya, maka anak didik pun harus tahu cara menggunakannya dengan baik
dan benar, serta dipandu untuk mendapatkan manfaatnya. Pendeknya, pemakaian
gadget dalam pembelajaran akan menginspirasi langkah si anak menyambut masa
depan pendidikannya.
Tak bisa dimungkiri, dengan segala
kecanggihannya, “persekutuan” gadget dan internet akan menambah pengetahuan.
Dengan bantuan gadget berteknologi canggih, anak-anak akan mudah dan cepat
memperoleh beragam informasi mengenai tugas-tugas, keinginan, serta cita-cita
mereka selama mengenyam pendidikan di sekolah. Bukan cuma akan membuka
relasinya hingga ke pelosok dunia, gadget di tangan mereka juga harus membuka
wawasan dan kreativitasnya sehingga bisa membuahkan banyak karya atau inovasi
yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Maka dari itu,
pengaplikasian teknologi dalam sekolah dibutuhkan supaya anak didik mendapat
akses seluas-luasnya ke dalam lautan pengetahuan.
Guru pun berperan sebagai kunci keberhasilan
dalam penerapan tersebut. Mereka akan berada di garis depan dalam merancang dan
menerapkan perubahan metode pembelajaran ini. Meski begitu, guru dalam pendidikan
yang menginspirasi lewat teknologi ini bukan lagi model guru “sage on the
stage” atau bintang panggung, melainkan “guide on the side” atau guru yang
berdiri di belakang mereka dan akan memotivasi anak didik seraya membangun
pemahaman dan menawarkan pendampingan di saat yang bersamaan.
Sumber ; kompas.com
0 comments:
Posting Komentar